Selasa, 05 April 2011 | By: Menulis Itu Mudah....

BERCERMIN DENGAN SANG ANAK KECIL PENJUAL KORAN


Oleh: Elsya Apriana

Pagi, Jumat 2 April 2011 terjadi kisah menarik yang aku alami ketika itu. Kisah yang ku anggap adalah kisah yang begitu membekas dalam diri saya karena akibat kejadian ini saya mendapatkan pelajaran yang berharga. Kisah itu terjadi ketika saya ingin bertandang ke rumah teman saya yang bernama Novi di Jalan Parit Haji Husein (Paris) 2 untuk mengambil barang saya yang ketinggalan di situ karena dua hari yang lalu saya menginap di rumahnya.
Ketika berhenti di rambu lalu lintas dekat depan Gedung Auditorium, aku melihat ada tiga anak laki-laki menjajakan koran Tribun Pontianak.
“Kak, Tribun dua ribu kak?” tegas seorang anak laki-laki sambil mendekatiku.
Melihat sosok anak laki-laki tersebut, sebenarnya aku tidak berniat untuk membeli koran itu, tetapi entah mengapa akhirnya aku membeli koran yang ia jual. Aku akhirnya membayar dengan menggunakan uang Rp 20.000 karena aku tidak memiliki uang kecil, maklum di awal bulan baru mendapatkan kiriman dari orang tua.
“Tak ade uang kecik ke, Kak?”, tanya anak itu.
“Dak ada dek”, aku menjawab.
Akhirnya ia pun ia merogoh koceknya untuk memberikan kembalian uangku tadi. Ketika ia memberikan kembalian uangku tiba-tiba rambu lalu lintas berubah menjadi hijau yang artinya harus jalan. Dia pun tergopoh-gopoh untuk mengembalikan kembalian uangku sambil aku jalan. Aku pun tidak lagi mengecek berapa yang ia kembalikan uangku.
“Makasih Kak!”, sahutnya.
Entah mengapa ketika pas di tiang rambu lalu lintas ia berteriak sambil mengejarku, aku heran dan akhirnya aku berhenti ke tepi.
“Ada apa dek?”, tanyaku heran.
“Tadi kamek balekan uang kakak kurang Kak! Cobelah kakak cek lagi”, Katanya.
Akhirnya aku menghitung kembali uang yang ia kembalikan tadi. Ternyata Uang yang ia kembalikan satu lembar Rp 5000 dan 11 lembar Rp 1000.
“Ia dek kurang 2000 lagi nih”, kataku.
“Benarkan Kak! Maaf kak ye”, pintanya padaku.
Sambil ia memberikan uang yang kurang tersebut, aku sempat bertanya ke anak laki-laki itu karena ada rasa penasaran yang ingin kutanyakan padanya.
“Adek dak sekolah ke?”, tanyaku penasaran.
“Sore Kak sekolahnye jadi pagikan bisa bantu orang tua cari duet buat makan same biaye sekolah!”, katanya sambil tersenyum manis.
“Ooohh.. gitu ke, makasih dek kembaliannya”, kataku.
Aku pun melanjutkan perjalananku menuju rumah temanku di Paris 2. Sambil melanjutkan perjalanan aku berbicara di dalam hatiku, ternyata masih ada orang yang jujur walaupun orang tersebut tergolong memiliki ekonomi rendah. Hal yang membuatku salut bahwa hal tersebut tercermin dalam seorang anak-laki seorang penjual koran yang rela bangun pagi-pagi untuk berjualan demi membantu mencari nafkah agar dapat meringankan beban orang tuanya. Tidak hanya itu saja walaupun anak tersebut sibuk berjualan, dia tidak lupa untuk bersekolah. Bagiku sungguh sangat istimewa anak tersebut.
Ini merupakan suatu pelajaran bagiku bahwa untuk bertahan hidup kita harus selalu bekerja keras dan mau berusaha, jika tidak kita akan kalah dengan hidup.
Kejadian tersebut akan tetap selalu kuingat. Seorang anak laki-laki istimewa, sang penjual koran yang selalu tersenyum ikhlas dan apa adanya. Senyum termanis di dunia ini yang mewarnai di pagi hariku waktu itu.

0 komentar:

Posting Komentar