Selasa, 05 April 2011 | By: Menulis Itu Mudah....

Lelaki Renta yang Gigih

Oleh: Dedek Kurniawati

Sudah dua hari “tukang” (pekerja bangunan) di rumahku mengganti atap rumah yang memang sudah sepantasnya untuk diperbaiki. Maklum rumah dinas pemerintah (komplek guru) sudah lama sebenarnya Ayahku berniat untuk menggantinya, hanya saja uang belum memadai. Itulah cerita singkat saya mendapatkan narasumber yang merupakan tukang bangunan di rumahku.

Memang bukan baru kali ini beliau bekerja memperbaiki rumahku, dapat dikatakan beliau adalah langganan tukang yang sudah lama dipercayai oleh Ayahku. Bermula dari adanya tugas jurnalistik yang diberikan oleh dosenku Bapak Dedy Ari Asfar, M.A., saat itulah aku melakukan percakapan disela-sela waktu istirahatnya. Beliau juga merupakan kenalan Ayahku yang berasal dari pulau Jawa hanya daerahnya yang berbeda, beliau berasal dari daerah Wonosobo sedangkan Ayahku dari daerah Muntilan. Beliau bernama Sarjum dan berusia 53 tahun.

Dalam melakukan pekerjaannya beliau dibantu dengan rekannya yang masih terlihat muda yaitu Parmin yang berusia 26 tahun. Namun, yang menarik perhatian saya adalah Bapak Sarjum ini karena usianya sudah cukup renta tapi tetap saja bekerja keras seperti menjadi tukang bangunan. Beliau berujar, “Saya bekerja menjadi tukang bangunan sejak tahun 1990-an, saya juga kurang ingat tepatnya. Hanya inilah pekerjaan yang bisa saya lakukan maklumlah dek...saya hanya lulusan SD.”, jelasnya dengan senyuman yang tersungging sesekali dibibirnya. Beliau memang sosok lelaki renta tapi fisik dan kekuatan tenaganya tidak menunjukkan bahwa beliau sudah renta. Beliau penuh semangat bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.30.

Meski pendapatannya dapat dikatakan tidak sesuai dengan pekerjaan yang telah ia lakukan dalam seharian tapi beliau tetap berusaha melakukan yang terbaik, diujarkan kembali, “Mungkin ini sudah nasib saya, saya harus menerimanya dengan lapang dada. Toh....masih banyak orang yang lebih menderita dibandingkan saya, mbok saya harusnya bersyukur toh..dek... pekerjaan ini adalah rezeki bagi saya, kalo saya mengecewakan pelanggan ya..sama aja toh saya memendekkan rezeki saya.” Jelasnya dengan dialek jawanya yang cukup kental. Dari pernyataan beliau ini, jelas sekali beliau bukanlah tipe orang yang malas dan hanya meratapi nasibnya saja tanpa berusaha untuk memperoleh kebahagiaan.

Cukup lama perbincangan kami saat itu, beliau yang telah menyelesaikan makanan sajian Ibuku dengan senang hati melayani semua pertanyaan yang saya ajukan. Seraya meneguk kopi panas di sore hari itu beliau kembali menceritakan kisah hidupnya, “Saya memiliki seorang istri dan empat orang anak perempuan, Alhamdulillah ketiga anak saya sudah berumah tangga sekarang yang harus saya ongkosi adalah anak perempuan bungsu saya lagi yang masih kelas 1 SMA. Yang cukup membebani saya, anak saya yang bungsu ini malas belajar, dari SMP hingga SMA dia itu masuk ke sekolah swasta. Mana biayanya mahal lagi. Belum lagi permintaan lainnya di luar keperluan sekolah, mumet kepalaku dek.. tapi itu juga lah yang menyemangati saya untuk giat bekerja meskipun ketiga anak saya sudah sering kali melarang, tapi saya pikir-pikir mau dapat darimana uang saya untuk membiayai hidup keluarga.”. Kisah yang unik bagi saya, tatkala ada orang tua yang sudah renta tetapi tidak mau menggantungkan hidupnya kepada anak-anak yang telah ia besarkan dengan susah payah. Semua itu ia lakukan karena ia tak ingin membebani anak-anaknya dengan permasalahan hidupnya, meskipun sebenarnya sebagai seorang anak hendaknya dapat membantu meringankan beban orang tua.

Pendapatannya dalam sehari yaitu Rp 70.000, tentu tidak cukup untuk membiayai hidup ia dan keluarganya, “Memang segitulah dek standar upah kami. Mau gimana lagi toh..terima aja, lagian udah tua gini mau kerja apa lagi, modal nggak punya.”. Sungguh miris melihat kondisi seperti ini, orang tua renta harus mencari sesuap nasi dan biaya sekolah anaknya dengan bertukang di rumah-rumah orang. Bahkan dijelaskan pula oleh Bapak Sarjum bahwa beliau tidak hanya bekerja di daearah Pontianak, demi mendapatkan rezeki beliau juga sering mengadu nasib ke daerah terpencil lainnya seperti di Ambawang hingga Nanga silat pernah beliau jajaki. Saat beliau harus bekerja di luar kota beliau menjadi anak buah tukang dari kepala tukang yang mendapatkan suatu proyek di daerah tersebut. Jadi hasil pendapatannya yang diperoleh Pak Sarjum akan dipotong untuk kepala tukang yang mendapatkan proyek bangunan tersebut. Namun tetap saja hal tersebut tak mengurungkan niatnya untuk bekerja di luar daerah.

Kegigihan Bapak dan juga merupakan Mbah (Kakek) ini sungguh layak diacungi jempol. Beliau tidak menjadi malas dan tidak menjadi manusia yang nonproduktif diusia senjanya justru menjadi sosok yang rajin dan sangat produktif karena mampu mengasilkan uang serta bangunan yang ia kerjakan. Kerjaan yang dihasilkanya juga tidak kalah dengan tukang bangunan yang masih muda, mungkin karena beliau sudah sangat berpengalaman dalam dunia pertukangan.

Ada rasa penasaran dan pertanyaan yang terus berkecamuk dibenak saya saat itu yaitu kapankah beliau akan pensiun (berhenti) dari pekerjaannya. Beliau menjawabnya dengan lugas, “Ya...sampai nggak ada lagi orang yang nyuruh saya.”, jelasnya sambil tertawa lebar. Menyedihkan sekali mendengar ucapan beliau tersebut, disaat negara kita yang tercinta dinyatakan telah merdeka tetapi masih ada saja kaum-kaum tertentu yang seolah dijajah oleh zaman dan kondisi ekonomi yang memburuk. Para pejabat semakin menimbun harta, rakyat jelata justru menimbun hutangnya. Dari cerita seorang lelaki tua ini, dapat saya ambil hikmahnya yaitu orang-orang yang besyukur adalah seorang mukmin yang menggunakan kenikmatan karunia Tuhan, baik berupa harta maupun kedudukan untuk dipergunakan ke jalan yang diridhoi-Nya. Maka orang tersebut tak hanya akan tampak kaya dari segi lahiriah tetapi juga kaya secara batiniah.

0 komentar:

Posting Komentar