Sabtu, 14 Mei 2011 | By: Menulis Itu Mudah....

Pelaku Mabuk dan Saksi Kerasukan

OLEH: DEDEK KURNIAWATI
Ngabang menjadi tujuan tempat pelaksanaan Pengabdian Pada Masyrakat. Kesan perjalanan yang begitu membekas diingatan. Ragam peristiwa tak terduga terjadi. Hanya perjuangan dan ketawakalan yang dapat menguatkan diri terus bertahan. Dari menjadi pelaku mabuk darat hingga menjadi saksi kerasukan massal di lokasi malam pengukuhan. Sungguh perjalanan yang penuh ketegangan.

Angin dingin terus membius tubuh untuk terus terlelap. Helaian kain yang hangat terus kutarik dari ujung kaki hingga menutup kepala. Kelopak mata seolah tertimpa puluhan kilo besi. Inginku memang terus berlayar di pulau kapuk itu, hanya saja teriakan Ibu memaksa untuk mengingkari semua kenikmatan dan mulai merangkai aktivitas. Aku beranjak untuk bangun. Namun, terhenti karena tiba saja terlintas memori dulu dan aku pun duduk ditepi kasur untuk merelakan pikiranku melayang ke waktu itu. Aku duduk terdiam dengan untaian kedua kaki ke bawah menginjak lantai kamar.

Saat itu mentari masih terlihat malu menunjukkan sinarnya. Hanya awan hitam yang menyelimuti bumi di subuh itu. Di dalam keluargaku pukul 04.15, adalah jam haram untuk tertidur tanpa alasan yang rasional, karena pukul 04.15 adalah satu diantara waktu untuk mempersiapkan diri berkomunikasi dengan Allah SWT yaitu saatnya beribadah sholat subuh. Sejak aku mulai masuk sekolah dasar aku mulai mengenal waktu wajib bangun tersebut. Anehnya saat aku SD rasanya ketetapan waktu ini tidak terlalu bermasalah bagiku. Aku selalu mudah untuk terbangun, bahkan sebelum jadwal jam tersebut saja aku juga sering terbangun sendiri. Tapi, semenjak menginjak SMP hingga bangku kuliah, jam 04.15 adalah waktu yang paling sulit untuk terbangun.

Pernah suatu ketika aku melanggar jam tersebut dan tertidur pulas tanpa mempedulikan ocehan Ibu, tapi setelah aku terbangun apa yang kudapati, mereka semua yaitu Ibu, Bapak dan Abangku terlihat kompak untuk mengacuhkanku selama seharian. Aku mulai berpikir tentang kesalahan yang aku buat. Dari peristiwa itu aku mendapatkan hikmah bahwa roda selalu berputar, karena sebelumnya aku tidak mempedulikan ocehan Ibuku, dan akibatnya Ibu, Ayah dan Abangku yang justru berbalik mengacuhkanku. Sungguh tidak menyenangkan diperlakukan seperti itu. Ibu memang sungguh ahli membuatku sadar dan jera. Sejak saat itu, aku berusaha untuk tidak mengacuhkan perintah Ibu lagi. Meskipun, tetap saja tak jarang aku mendapatkan ganjaran yang sama karena melakukan kesalahan yang sama pula. Ternyata aku memang belum sepenuhnya dewasa, padahal semua yang Ibu lakukan hanya untuk kebaikanku. Pikirku mengambil kesimpulan sendiri, “Bodohnya aku, tidak menghargai dan menuruti peritah Ibu, padahal ia bertindak demikian agar aku tidak melalaikan sholat subuh dan terbiasa untuk bangun pagi.”.

Arah pikiran ke masa lampau terpecah dengan merdunya nyanyian surgawi yaitu kumandang adzan yang kemudian disusul dengan lantunan qomat nan indah. Aku mulai beranjak dari tempat tidurku bergegas menuju tempayan yang terbuat dari semen di belakang rumah. Dengan gigi yang terus bergemetar aku mencuci mulut atau berkumur dan selanjutnya melakukan rangkaian urutan wudhu. Berwudhu tidak hanya mensucikan diri dari najis, banyak yang bilang dengan berwudhu akan menambah rona seri diwajah orang yang melakukannya. Tetapi, bagiku berwudhu kali ini sangat ampuh untuk meminimalisir rasa kantuk dan malasku. Setelah selesai aku mulai melakukan sholat berjamaah dengan seluruh keluargaku. Diakhiri dengan doa dan bersalaman dengan mencium ketiga tangan yang ada dihadapanku. Tidak ada satu pun yang mau mencium tanganku, karena aku paling muda dirumah, jadi kewajibanku justru mencium seluruh tangan di rumah. Padahal, aku sangat ingin ada orang yang berusia lebih mudah di rumahku, agar tanganku dapat dicium.

Aku kembali ke kamar untuk menyimpan lipatan mukena dan sajaddah yang baru saja digunakan. Setelah itu, aku mulai berpetualang di dapur dan melihat Ibu sedang memasak sarapan untuk kami. Menu pagi ini adalah nasi goreng, biasanya selain nasi goreng Ibu memasakkan mi atau jika sedang tidak sempat atau kurang enak badan Ibu membeli jajanan kue yang tiap pagi dijajakkan. Penjajak itu dikenal warga komplek dengan sebutan “Bibi Madura”, karena memang ia keturunan asli Madura. Tiap pagi, Ia selalu lewat untuk menjajakan jualannya disekitar komplek kami. Jualannya tergolong murah, tapi kue yang ia jajakkan tidak terlalu enak. Namun, lumayanlah, untuk mengisi perut daripada keroncongan. Syukurlah menu pagi itu adalah nasi goreng buatan Ibuku yang rasanya tidak dapat diragukan lagi, enak sekali.

Sambil menunggu masakan Ibu matang, aku bersiap untuk mandi karena mandiku sangat lama. Sambil mandi aku selalu bernyanyi, sebenarnya memang Ibu selalu menegurku. Katanya tidak baik bernyanyi di dalam WC, tapi mau bagaimana lagi aku terlanjur menyukainya dan bagiku dengan bernyanyi di dalam WC juga dapat mengurangi rasa dingin yang ditimbulkan siraman air mandi. Selesai mandi aku keluar dan langsung bergegas mengenakan baju sambil berdandan alakadarnya. Setelah itu, aku beranjak ke meja makan dan mengambil piring dengan nasi goreng dan sebuah telur mata sapi di atasnya tanpa kerupuk. Dengan lahap aku menghabiskan satu piring nasi goreng tersebut.

Selesai semua persiapan untuk menghadapi hari. Aku menurunkan motor yang terparkir di ruang tamu, maklum kami tak memiliki garasi. Kumasukkan sebuah kunci ke dalam lubang berbentuk persegi panjang miring untuk menghidupkan motor. Kudiamkan beberapa menit agar mesin motor panas sehingga dapat bekerja dengan baik alias tidak mogok nantinya. Sambil menunggu, aku naik lagi ke beranda rumah dan meraih ketiga tangan tertua di rumahku, Ayah, Ibu dan Abangku. Aku pun langsung meminta izin untuk pergi ke kampus.

Ku angkat kaki mengitari selangkangan di motor untuk menduduki joknya lalu memasukkan gigi motor dan mengegasnya seraya mengucapkan salam kepada kedua orang tua dan abangku yang menyaksikan aku berangkat. Sekitar tigapuluh menit perjalanan dari rumahku menuju FKIP Universitas Tanjungpura. Padahal aku sudah berjalan dengan kecepatan semaksimal mungkin, tapi karena jalan dari rumahku hingga jalan besar bernama R.E. Martadinata masih banyak yang rusak, selain itu adanya macet dan beberapa lampu merah juga semakin memperlambat perjalananku.

Saat itu, aku masih menjadi “Maba” atau mahasiswa baru semester I. Aku masuk jam perkuliahan tepat waktu. Beberapa menit aku mendudukan tubuhku ke sebuah bangku kelas, tak lama dosen yang terkenal tepat waktu yaitu Bapak Drs. I. Nyoman Sena, M.Pd., pun datang. Mata kuliah menyimak beliau ajarkan tatkala itu. setelah jam mengajarnya habis, kami mendapatkan pengumuman dari ketua tingkat yaitu Kiki Chostha Vernantdez, “Teman-teman, kita disuruh ngumpul di ruang sembilan ada pengarahan PPM.”, jelasnya. Kami segerombolan mempersiapkan diri merapikan pakaian dan mengenakan aksesoris wajib perlengkapan Maba seperti, papan nama berwarna ungu yang harus tersemat di bagian dada kiri baju, seuntai tali pita berwarna ungu yang harus melingkar di lengan sebelah kanan, kaos kaki dan juga harus mengenakan pakaian bebas rapi tanpa bahan jeans sedikitpun. Setelah semua dirasa tepat kami langsung bergegas menuju ruang sembilan. Sebelum memulai arahan mereka merazia kami terlebih dahulu. Ada beberapa Maba yang terjaring, diantaranya mereka bersalah karena lupa mengenakan papan nama dan tali pita. Mereka pun diceramah beberapa menit dan disuruh untuk scoot jump bagi yang wanita sebanya lima kali dan push up bagi yang pria sebaganyak lima kali pula. Hukuman ini diberikan agar kami tidak lalai dan tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Selanjutnya senior kami dari angkatan 2007 hingga 2006 memberikan arahan mengenai pelaknaan PPM atau Pengabdian Pada Masyarakat yang akan dilaksanakan di Ngabang selama tujuh hari. Jadi, kami diminta untuk mengumpulkan dana sebesar Rp 155.000,00 kepada kesekretariatan HIMBASI guna mendukung kegiatan tersebut. Kami memang sudah lama menanti kegiatan itu, karena kegiatan itu juga masa akhir bagi kami melepaskan status sebagai junior yang terikat berbagai aturan. Selain itu, karena tak lama dari selesainya kegiatan itu akan ada mahasiswa baru yang akan menggantikan posisi kami menjadi junior.

Pelaksanaan PPM itu akan dilakukan setelah Ujian Tengah Semester berlangsung. Setelah sesaat pengumuan, dua minggu pun kami lalui dengan mengikuti Ujian Tengah Semester. Saat kepenatan akan sisa-sisa jerih payah berjuang ujian masih terasa, kami masih harus mengikuti kegiatan lanjutan dari Pahim atau Pengkaderan Himpunan. Selesai sekitar lima bulan kami seluruh angkatan 2008 diorientasikan cara bersosialisasi yang baik dan dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik kami diwajibkan mengikuti kegiatan pengaplikasiannya yaitu kegitan puncak PPM.

Kami semua harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk menginap di Ngabang selama tujuh hari. Bagi mahasiswa yang memang berasal dari daerah sana justru menjadi hal yang tidak terlalu perlu untuk disiapkan, seperti kata Untung Supriadi, “Hahaha...aku sih santai jak, kalo’ ada perlu tinggal pulang ke rumah, kan dekat.”, jelasnya dengan rona wajah kegirangan. Padahal kami semua belum diberitahu akan menginap di daerah mana, tetapi dengan keyakinan penuh, Untung temanku itu memvonis tempat kami menginap tidak jauh dari rumahnya yang ada di Ngabang.

Hari minggu aku lalui dengan berbelanja ditemani oleh Bapakku. Aku membeli perlengkapan mandi seperti pasta dan sikat gigi saja, sedangkan untuk sabun dan shampo-nya aku bawa yang memang sudah ada di rumah. Aku juga membeli satu pack kantong plastik berwarna hitam untuk menampung muntahanku. Maklum aku selalu mabuk darat terutama terhadap kendaraan beroda empat dan delapan. Hal ini pula yang membuat aku jadi takut untuk mengikuti kegiatan ini. Aku takut menyusahkan temang sebangkuku di bis dan aku juga takut tidak dapat mengikuti rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan di sana. Namun, semua itu coba aku tampikkan dengan cara berdoa agar tidak mabuk darat dan aku siasati dengan membeli obat anti mabuk. Kali ini aku tidak mengkonsumsi antimo yaitu obat langganan yang biasa aku minum karena sejak tour di SMP dan SMA aku selalu mengkonsumsi obat itu. Malangnya yang aku dapatkan adalah menjadi orang yang telah kehilangan tenaga sama sekali. Sepanjang perjalanan aku muntah dan tiba di tempat wisata yang dapat kulakukan hanya terbaring lemah ditepi pantai seperti orang gila. Sungguh perjalanan yang sia-sia dan memalukan. Jadi, kali ini obat yang aku konsumsi adalah dharmamin yang aku dapatkan setelah berkonsultasi dengan dokter umum yang praktek di sekitar Jalan Merdeka.

Perlengkapan lain yang kubeli adalah beberapa makanan ringan, dan minuman serta yang paling penting aku tidak lupa membawa persiapan wanita seperti pembalut dan lotion anti nyamuk. Lengkaplah sudah berbagai perlengkapan yang harus dibeli. Mengepak pakaian dan menyusunnya di dalam koper adalah kegiatan selanjutnya yang harus aku lakukan dengan baik dan rapi agar semua perlengkapan muat dibawa ke dalam satu koper. Namun, apa mau dikata mungkin memang sudah kodrat wanita memiliki banyak perlengkapan yang harus dibawa. Aku gunakan lagi sebuah tas ransel untuk menambah tampungan barang yang harus kubawa. Alhasil tetap saja masih ada barang yang tak dapat dimasukkan, lalu aku gunakan lagi tas jinjing yang ukurannya tidak terlalu besar untuk membawa barang-barang yang akan kuperlukan di dalam perjalanan, seperti kue dan bungkusan kantong plastik untuk menampung muntahan.

Keesokan harinya, aku kembali bangun dengan jam wajib aturan dari Ibu. Rutinitas pagi aku lakukan seperti biasa. Hanya saja, kali ini Ibu terlihat lebih perhatian dari biasanya, mungkin karena beliau tahu bahwa perjalanan dengan kendaraan bis adalah tantangan yang sulit bagiku. Aku hanya bisa menghilangkan rasa cemas Ibu dengan mengatakan, “Doakan adek ya...mak, insya Allah adek ndak mabuk. Kan udah beli obat dengan resep dokter.”, ucapku seraya memakan sarapan yang sudah beliau buat. “Iya, dek. Ndak disuruh pun mamak sudah pasti selalu berdoa buay kesehatan dan keselamatan adek.”, tandasnya dengan nada meyakinkan.

Setelah melakukan semua persiapan pembekalan diri sebelum berangkat, Ibu memberikan saran kepadaku untuk menendang ban bis, ini adalah satu diantara mitos yang Ibu dengar dari tetangga untuk mengakal mabok darat. Selain itu, Ibu juga menyuruhku menutup pusat dengan salonpas agar hangat dan tidak masuk angin. Setelah memberikan wejangannya, aku pun beranjak pergi dengan diantar oleh Bapakku, dengan membawa sebuah tas koper, sebuah tas ransel dan sebuah tas jinjing.

Kami sudah harus berkumpul di kampus pada pukul 06.00. Namun, karena umumnya dari warga Indonesia menggunakan jam karet, jadilah kami datang tidak tepat waktu. Bahkan, panitia juga banyak yang datang tidak pada jam yang telah ditetapkan. Sesampai disana, dengan perasaan cemas karena menjadi sosok yang membawa perlengkapan terlalu banyak mulai menghantui. Namun, syukurlah sesampai di sana aku temukan tidak hanya aku yang membawa banyak tas, tapi banyak dari temanku yang khusunya wanita juga membawa tas lebih dari satu. Aku sedikit lega karena tidak akan menjadi sosok yang aneh di perjalanan itu.

Kami menunggu bis datang dengan berkumpul di parkiran FKIP, ada yang sedang memakan sarapannya karena tidak sempat alias terburu-buru. Ada yang justru asyik bertelepon dan bersms-an dengan teman atau keluarganya dan ada pula yang sekedar berbincang dengan topik yang cukup menarik bagiku, yaitu “mabuk darat”. Aku memanfaatkan waktu itu untuk meminum obat mabuk yang telah kusiapkan sebelumnya. Jadi, ternyata tidak hanya aku yang nantinya akan melakukan aksi memalukan jika terkena mabuk darat, aku ada ditemani beberapa teman yang ternyata juga mengalami mabuk darat biasanya. Cukup membuat aku tenang.

Suara gemuruh terdengar semakin mendekat. Mati kami mulai berkeliaran mencari arah suara itu. ternyata rombongan bis yang berjumlah empat buah pun datang. Kami memperhatikan keempat bis itu, dan berancang-ancang memilih bis yang mana yang akan kami tumpangi nanti. Saat asyik membicarakan pemilihan bis yang akan ditumpangi, terdengar tepukan tangan yang berasal dari arah pendopo FKIP. Senior kami berteriak dengan tambahan alat bantu pengeras suara, “Woooooiiii.....jangan berkerumun di situ !”. Sehingga kami terperanjak dan langsung berlari menuju arah teriakan itu. kami disuruh membentuk barisan. Setelah barisan terlihat rapi, datanglah Ketua Jurusan Bapak Dr. Martono, Ketua Prodi Ibu Dra. Sesilia Seli, M.Pd. dan Pembantu Dekan III Bapak Drs. Achmadi, M.Si., untuk menyampaikan kata pengantar dan membuka upacara pelepasan kami untuk melaksanakan PPM di Ngabang. Secara bergantian beliau memberikan kami wejangan agar menjaga nama baik almamater FKIP Untan.

Upacara selesai. Kami layaknya seekor anak ayam bergegas mengambil tas dan berebut memilih bis dan posisi duduk yang paling nyaman. Eiiittss...tapi apa yang terjadi. Kami justru kembali dimarah oleh senior, karena tingkah kami tidak mencerminkan kedewasaan. Kami disuruh keluar dari bis yang sudah kami duduki. Ternyata, tiap bis telah ditentukan untuk kelas dan berapa kapasitasnya. Senior lebih mendahulukan bagi kami yang mabuk darat. Selanjutnya, di arahkan untuk masuk ke bis yang telah ditentukan.

Syukurlah aku mendapatkan posisi yang tidak terlalu ke belakang. Aku duduk dengan teman dekatku Fitri Heryani Widyartika, dia tidak mabuk darat dan aku pun berdoa semoga duduk dengannya menjangkitkan virus baik bagiku, yaitu ikut tertular tidak mabuk darat. Saat itu, kami masih sibuk berberes untuk meletakkan barang-barang kami di bis. Aku meminta Fitri untuk menjaga bangku kami, “Fit, tolong jaga bangku kite ni ye... aku ada perlu sebentar.”, jelasku kepadanya. Aku melupakan saran yang Ibu berikan tadi. Oleh karena itu, aku langsung keluar dari bis. Ku biarkan mataku bergerak liar mengawasi sekeliling. Saat mereka terlihat sibuk mengurusi perlengkapan mereka. Aku bergerak menuju arah belakang bis. Diam-diam kuperhatikan ban bis yang terlihat begitu besar, lalu aku tendang ban dari bis itu, “Awww....!” teriakku terkejut. Ternyata aku terlalu berambisi, tendanganku terlampau kuat. Sehingga membuat ujung jempolku terkelupas. Sakit sekali rasanya, terlihat ada darah yang membeku di dalam jempolku itu, terasa berdenyut-denyut seolah memaksa untuk keluar, tetapi tidak dapat keluar. Syukurlah tidak ada yang menyadari aksi dan teriakku tadi, jika terlihat maka aku akan sangat malu.

Dengan berpura-pura tanpa merasa sakit sedikitpun, aku kembali ke posisi dudukku di bis. Terligat Fitri masih setia menjaga kursi kami, “Darimana dek? Lama benar.”, tanyanya dengan bingung. “Ndak, tadi aku pipis.”, jawabku meyakinkannya. Untunglah dia tidak bertanya lagi, karena yang aku rasakan sekarang tidak hanya gugup akan berangkat dengan kendaraaan yang telah lama menjadi musuhku, tapi juga rasa sakit dari jempolku yang memar dengan darah beku yang terlihat dari luar. Sungguh permulaan perjalanan yang buruk.

Suara mesin bis pun mulai terdengar. Mereka yang berada di belakang teriak beersamaan, “Kita berangkat sekarang! Yeee..............!”. Sama sekali aku tidak mau mecari tahu siapa-siapa saja yang meneriakkan kalimat itu, karena jantungku mulai berdegup tak beraturan, aku takut dengan perjalanan ini. Berbagai doa aku panjatkan untuk mengusir rasa gugup dan takutku.

Perjalanan kami pun dimulai. Baru saja sampai pada Jembatan Tol Kapuas I, aku sudah sibuk mencari kantong hitam yang ada di tas jinjingku. Memang belum ingin muntah, tetapi tanda-tanda itu semakin jelas. Kepalaku mulai terasa pusing dan berulang kali aku bersendawa. Fitri teman sebangkuku mulai menanyakan apa yang kurasakan, aku hanya bisa menggelengkan kepala, dengan maksud untuk jangan mengajakku berbicara dulu. Ya...perutku mulai terasa tidak menentu, mual dan pusing terus aku rasakan. Ternyata obat yang aku beli dengan harga yang jauh dari obat anti mabuk biasanya itu tidak menjamin keamananku tanpa mabuk.

Pabrik karet mulai terlihat, yang tercium adalah bau karet yang begitu menusuk hidung dan otakku. Saat itulah, aku tak mampu lagi membendung rasa mualku. Akhirnya kumuntahkan semua isi perut, tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar. Aku terus mengeluarkannya, hingga rasa mualku hilang. Sesekali memang aku berhenti. Tetapi, tetap saja rasa mual itu tak kunjung hilang. Perjalanan masih terasa panjang, berulang kali aku bertanya dengan teman sebelahku Fitri, “Masih jauh ke Fit? Berapa jam lagi? Aduhhh....aku pengen balik ke Ponti lagik.”. Fitri kembali menenangkanku dengan jawaban yang sama, “Tenang, bentar lagi nyampai bah.”, jawabnya agar aku sedikit tenang.

Teman di belakangku berteriak, memang tak jelas siapa orangnya, tapi dari nada suaranya itu terdengar suara dari Untung yang memang asli berasal dari Ngabang, “Gunung Seha datang...!”, teriaknya dengan nada girang. Perasaanku semakin kacau, kudengar dari teman-temanku, bahwa Gunung Seha memiliki jurang yang dalam, tanjakan yang tinggi dan likuan jalan yang tajam. Tak jarang terjadi kecelakaa di sekitar daerah Gunung Seha tersebut. Rasanya sedikit menyesal pernah mendengar cerita seperti itu.

Tetap saja jalan itu harus aku lalui. Aku tak begitu memperhatikan jalan yang telah aku lalui, karena semakin melihat ke arah jalan, maka semakin kuatlah rasa mualku. Yang terasa saat itu hanyalah punggungku tersandar karena bis sedang menanjak, lalu badanku berganti sandaran ke kiri dan ke kanan hingga menyentuh jendela bis. Apalagi saat turunan, jantungku seolah lepas dari badanku, yang aku rasakan hanya desiran angin yang luar biasa dan perasaan yang benar-benar tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Sungguh lengkap penderitaanku saat itu. seluruh anggota tubuh tak berdaya lagi untuk menopang. Hentakan bis dan berbagai gerakan tadi semakin menambah penderitaanku. Aku kembali memuntahkan isi perut, tapi kali ini sudah tidak ada lagi sisa makanan yang berbentuk bubur, yang terlihat hanya cairan seperti air liur dan disusul cairan berwarna kuning dengan tinggalan rasa pahit diseluruh mulutku. Semuanya terasa pahit. Aku melihat sekeliling, mereka semua tertujua padaku, seolah aksi muntahku adalah pertunjukan menarik. “Ah..sudahlah, aku tak sempat untuk mengartikan pandangan itu, aku tidak peduli lagi.”, pikirku dalam hati.

Setelah kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya kami tiba di suatu tempat, yaitu sebuah rumah yang telah disiapkan oleh warga setempat. Keluar dari bis rasanya aku sedikit lega, aku langsung terjongkok dan tak lama aku langsung mendudukkan diri di tanah. Aku tidak peduli dengan kondisi tanah itu yang akan mengotori celanaku. Yang penting bagiku, yang aku duduki sekarang bukanlah bangku bis.

Kami disuruh berbaris lagi, untuk menyambut datangnya Kepala Lurah setempat. Kepala Lurah itu datang untuk memberikan kata sambutan kepada kami. Senior memang mengatakan bagi yang tidak mampu berbaris dipersilahkan untuk beristirahat, tetapi aku berusaha menguatkan diri untuk tetap masuk ke dalam barisan dan mengikuti upacara penyambutan tersebut.

Selesai upacara kami digiring menuju rumah yang telah disedikan. Kami diberikan kapasitas dua. Rumah pertama, untuk senoior pria beserta junior pria lainya. Rumah kedua untuk senior wanita beserta junior wanita lainnya pula. Berbagai jenis kegiatan kami lalui selama tujuh hari. Dari seminar yang diadakan oleh pihak himpunan kami, rangkaian lomba, seperti lomba musikalisasi puisi dan lomba cepat tepat yang diikuti sekolah-sekolah yang berada wilayah sekitar. Kegiatan lainnya adalah bakti sosial memungut sampah dan membersihkan area komplek tempat kami menginap.

Pada malam terakhir kami berada di sana, kami mengadakan “Makrab” yaitu malam keakraban bersama warga daerah Ngabang dan pemenang lomba yang telah diadakan sebelumnya. Acara berlangsung di Gedung Kantor Bupati Ngabang yang terlihat kemegahannya dari luar dan dari dalam. Acara itu kami lalui dengan suka cita. Mulai dari pembukaan dari ketua PPM yang bernama Deny Oktaviarie yang berasal dari angkatan 2007, lalu adanya paduan suara dari tim Himbasi, kemudian penyerahan hadiah dan tropi kepada pemenang lomba musikalisasi puisi dan cepat tepat. Setelah kegiatan inti berlangsung, penampilan drama dari angkatan 2008 pun disajikan kepada para penonton. Mereka cukup antusias menonton aksi kami. Saat itu, aku berperan sebagai prolog. Semua berjalan menyenangkan dan penonton terlihat terhibur. Kami sangat senang.

Malam kian larut, bis pun sudah datang untuk menjemput kami kembali ke tempat penginapan. Kami kembali diarahkan untuk memasuki bis dan tenang disepanjang perjalanan. Saat itu, pukul sudah menunjukkan sekitar pukul setengah sebelas malam. Badan kami terasa begitu lelah dan kantuk terus meraja. Tiba di tempat penginapan rutinitas seperti biasa, yaitu mencuci muka dan gosok gigi malam kami tinggalkan. Sesampainya, kami langsung membuka sepatu dan menjadikannya sebagai bantal untuk tidur dengan tambahan tas berisi pakaian agar terasa sedikit empuk. Mengapa kami mengenakan sepatu sebagai alas pengganti bantal, pertama karena bahan dari sepatu umumnya berbahan lembut dan ada sedikit busanya, kedua karena saat kami diwajibkan bangun untuk mengikuti senam kami tidak perlu berebut, kebingungan dan terlambat masuk barisan karena mencari sepatu yang berhamparan dengan warna yang nyaris sama semua pula, yaitu warna hitam.

Hanya butuh beberapa menit membuat kami terlelap, karena memang tubuh terasa lelah dan mata tak mampu melawan sang raja kantuk. Mulailah kami semua berlayar ke pulau yang sama yaitu ke pulau kapuk. Sesekali terbangun karena mendengar suara dengkuran teman. Mungkin karena benar-benar merasa kecapaian sampai-sampai mendengkur. Kupaksa kembali untuk tertidur dan mngacuhkan dengkuran itu, jelas saja suara itu berada tepat disampingku. Semakin terasa sulit untuk terlelap padahal tubuh dan mataku begitu terasa berat.

Beberapa saat kemudian aku kembali terlelap, entah bagaimana caranya. Yang aku tau aku mulai mendengar samar-samar dengkuran itu, dan aku pun mulai masuk ke dunia mimpi. Tak lama terdengar kembali suara yang memekakkan telinga. Suara itu terdengar dari suara perlengkapan dapur “kuali” dan “panci” yang dipukul dengan benda keras. Langsung terperanjat mataku seraya mencari arah suara itu. ternyata suara itu benar adanya berasal dari suara dugaanku. Senior kami yang melakukannya. Mereka menyuruh kami untuk bangun dan mempersiapkan diri menggunakan perlengkapan Pahim seperti biasa. Kami diberi waktu selama lima menit.

Kepalaku begitu pusing saat itu, karena baru saja mulai terlelap dari bangun akibat dengkuran kini justru terbangun kembali akibat suara bising yang memekakkan telinga. Mungkin tak hanya aku yang merasakan hal yang sama, beberapa temanku bahkan ada yang menggunakan alasan sakit agar tidak mengikuti kegiatan yang akan berlangsung ditengah malam itu. Aku sama sekali tidak berani untuk berbohong seperti itu, aku takut benar-benar kena batunya yaitu benar-benar terjadi kebohongan yang telah diucapkan. Jadi, lebih baik aku ikuti saja perintah senior.

Ternyata malam itu kami akan dikukuhkan. Kami di suruh berbaris didepan penginapan, sebelum berangkat kami disuruh berdo terlebih dahulu. Ntah tepatnya jam berapa saat itu. Kami sama sekali tidak sempat untuk melihat jam. Tapi, sepertinya sekitar pukul satu malam. Karena langit terlihat begitu gelap dan bintang pun terlihat masih tersusun tak beraturan terhampar banyak di langit-langit.

Dengan berbari kami digiring menuju Kantor Bupati Ngabang yang telah usang. Aura angker mulai terasa saat kami berjalan di jalan aspal menuju kantor tersebut. Tak jau dari kantor itu terdapat jalan dengan tikungan tajam yang konon katanya banyak yang meninggal di situ karena kecelakaan. Bulu kudukku terus berdiri, karena mendengar temanku berkata, “Dek, apa tu di Pohon, kok ada putih-putih.”, ucapnya dengan nada meringis. Aku hanya terdiam sambil menoleh ke arah yang ia tunjuk. Tapi aku tidak melihat apapun di pohon itu. Sepanjang jalan yang kami lewati dihiasi banyak hutan ditepinya, hanya sesekali terlihat rumah penduduk. Perjalanan yang kami lewati sekitar seratus meter.

Nuansa malam itu semakin mencekam tatkala kami sampai di Kantor Bupati yang terlihat usang itu. banyak yang mengatakan pula bahwa tempat itu tidak kalah menyeramkan dari tikungan tajam yang telah kami lewati tadi. Tempat itu dulunya adalah bekas kuburan dari tentara Belanda. Aku mencoba untuk bersikap wajar, berulang kali aku panjatkan doa untuk menguatkan diri dan berharap doa itu dapat mengusir hal-hal negatif yang tak telihat disekitarku.

Kami disuruh berbaris lagi di lapangan luas yang berada tepat di depan kantor tersebut. Saat itu, kami diperiksa apakah menggunakan aksesoris Pahim dengan tepat dan lengkap. Bagi yang tidak memenuhi persyaratan dipisahkan dari barisan dan dihukum scot jump dan push up. Untunglah, aku mengenakan semua perlengkapan itu. kami dibentuk beberapa kelompok untuk melakukan penjelajahan ke pos-pos yang berada di sekitar Kantor Bupati itu. kurang jelas juga berapa kelompok yang dibentuk, hanya saja yang aku ingat aku masuk ke kelompok tiga. Semuanya tidak begitu jelas, karena pada saat itu keadaan sangat gelap, yang tampak hanya sinaran dari senter yang dibawa oleh panitia yang tidak lain adalah senior kami.

Kelompok satu mulai dipanggil untuk melakukan penjelajahan ke pos-pos yang telah ditentukan. Sambil menunggu kami disuruh duduk dilapangan dengan berjurutan memanjang. Kami dilarang untuk melamun, dan dilarang untuk mengeluarkan ucapan kotor apalagi sampai meludah sembarangan. Tiba-tiba teriakan terdengar nyaring mengejutkan kami. Ternyata ada satu diantara mahasiswa kerasukan. Suasana semakin mengerikan, aku adalah sosok yang sangat penakut. Teman-teman sekelompokku selain pria terlihat menangis, sedangkan aku hanya terdiam, bukan karena tak ingin menangis. Namun, karena perasaan begitu kacau untuk menangispun seolah tak sanggup lagi.

Aku memandangi mereka satu persatu di dalam kegelapan. Terlihat sedari tadi temanku yang berada dibelakang terdiam merunduk tanpa menangis dan tanpa ekspresi apapun. Aku memanggil namanya, “Ong..ongti, kau ngape? Jangan buat kamek takut.”, tanyaku dengan takut-takut. Dia sama sekali tidak merespon, akhirnya tanpa perintah siapapun, aku langsung berlari memanggil senior untuk mendatangi kelompok kami. Mereka semua mengira Ongtiana juga mulai kerasukan. Semakin lama semakin banyak terdengar suara teriakan. Ternyata kerasukan itu dapat menjalar ke siapa pun. Tidak hanya peserta pengukuhan yang terkena, tapi panitia juga banyak yang kerasukan.

Dengan arahan dari ketua Pahim, acara pengukuhan pun dibatalkan. Beruntunglah aku belum sempat melakukan penjelajahan, karena menurut temanku yang sempat melewati Pos pertama keadaan rumah kosong yang harus dilewati itu begitu angker. Selanjutnya kami kembali digiring untuk pulang ke tempat penginapan. Sepanjang jalan, kami terus berzikir bersama, melafadzkan doa pula bersama. Mahasiswa-mahasiswa yang mengalami kerasukan dibawa dengan kendaraan bermotor. Sedangkan kami seperti saat pergi tadi, melakukan perjalanan pulang dengan jalan kaki.

Sesampai di tempat penginapan tampak beberapa orang mengenakan peci berwarna putih dan hitam di dalam penginapan. Aku melihatnya dari jendela yang tak bertirai itu. Kami dilarang masuk, karena untuk mencegah penularan kerasukan. Ternyata orang-orang itu adalah ahli dalam mengusir syaitan. Orang-orang itu mengusir syaitan yang ada ditubuh mahasiswa muslim. Sedangkan, mahasiswa yang nonmuslim disembuhkan oleh dosen kami sendiri yaitu Bapak Drs. Hotma Simanjuntak, M.Hum.

Prosesi pengusiran terus berlangsung. Kami hanya bisa menunggu di luar hingga keadaan di dalam menjadi tenang. Saat suara adzan subuh berkumandang, suara jeritan dari dalam penginapan mulai tidak terdengar lagi. Kami pun disuruh untuk masuk ke dalam penginapan yang ditiduri kaum lelaki. Kami semua untuk sementara dikumpulkan ditempat itu. Kami yang beragama muslim disuruh untuk membaca ayat Al-Quran sebentar. Lalu kami, disuruh untuk berwudhu dan menjalankan sholat subuh berjamaah. Selesai sholat berjamaah kami kembali disuruh untuk membaca Al-Quran.

Sinar mentari mulai menerangi bumi ini, mencoba untuk mengganti langit malam yang sangat mencekam itu. aku begitu bersyukur dapat melihat mentari di pagi itu tanpa mengalami kerasukan dimalam harinya. Rencana kami untuk menutup PPM dengan berwisata di Pasir Panjang gagal, karena adanya insident yang terjadi sebelumnya. Jadilah kami pulang dengan bekal cerita menarik tetapi sangat menyeramkan. Kami pulang dengan menggunakan kendaraan yang sama yaitu bis.

Karena aku merasa jera mabuk darat, aku meminta Bapakku untuk menjemputku pulang dengan motornya. Beberapa hari setibanya aku di Ngabang, aku langsung membuat kesepakatan dengan Bapakku agar saat kegiatan berakhir aku ingin pulang dengan dijemput. Sedari hari sebelum pengukuhan, Ayahku sudah ada di Ngabang. Beliau sengaja pergi lebih awal, karena beliau tahu bahwa aku sangat takut jika harus menunggu. Jadilah aku pulang tanpa menggunakan bis, betapa bahagianya aku. Karena tidak perlu kehabisan tenaga untuk memuntahkan isi perut. Akhirnya aku pulang dari Ngabang ke Pontianak dengan dibonceng oleh Ayahku dan motor tuanya. Inilah sekelumit kisah perjalananku yang sangat berkesan. Tak hanya kesan buruk tapi juga ragam kesan yang penuh dengan hikmah. Suatu kondisi yang buruk, jika dilihat dari sisi positif, maka akan menimbulkan rasa bersyukur atas karunia-Nya sang Maha Tahu Allah Swt.

0 komentar:

Posting Komentar